Senin, 25 Januari 2010

Kupu-kupu Yang Gagal

Saat musim bunga dimana-mana, biasanya juga musim kupu-kupu terlahir ke dunia. Berbagai rupa kupu-kupu yang begitu indah, menghiasi taman-taman, pesawahan, kebun, sekitar rumah dan banyak lagi. Keagungan warna dari Illahi ini sering membuat kita berdecak dengan kagum. Saat musim tiba, berpuluh, beratur bahkan beribu kupu-kupu terbang kesana kemari. Dengan tiada lelah mereka mencicipi berbagai bunga tuk mengambil sarinya.
Tapi apakah semua kupu-kupu bisa sukses dan terbang kesana-kesini untuk mencari sari bunga? Apakah proses yang kita kenal dengan metamorfosis dalam biologi secara mudah dilalui oleh seekor kupu-kupu?

Sebelum menjadi seekor kupu-kupu yang cantik dan indah, yang dengan lincah terbang kemanapun suka, kita tengok kembali jauh sebelumnya. Proses begitu panjang. Dari mulai telor yang kecil-kecil, menetas sebagai seekor ulat, lalu harus berpuasa dan "diet" sangat kuat pada tahapan sebagai kepompong, lalu paksakan diri keluar dari kepompong dan mencoba terbang.

Setiap tahapan tentu sangat besar resiko yang menghadang. Dari telor yang sangat disukai para semut, lalu jadi ulat yang banyak dibenci oleh orang karena kerakusannya, kadang digunakan mainan oleh anak-anak. Saat jadi kepompong hidup dengan berpasrah karena hanya bergantung yang tanpa mampu membela diri. Pada saat sudah siap, dia harus menguak cangkang kepompong dengan sekuat-kuatnya sehingga bisa keluar. Dan pada saat itu sangat tersiksa, cairan dalam tubuhnya seperti terperas, sayap yang indah dipaksa beradu dengan lubang cangkang yang begitu kasar. Dia belum bisa terbang, karena penguatan sarafnya perlu pemanasan dari matahari hingga mampu terbang.

Jika kita melihat kupu-kupu yang sedang keluar dari kepompong, tentu kita mempunyai rasa iba terhadapnya. Memang itu proses alamiah, tetapi kita cermati bahwa itu adalah sebuah filosofis yang begitu dalam dalam makna kehidupan. Bagaimana kalau kita coba menolong kupu-kupu tersebut dari kepompong? Tentu saja dia tidak usah keluar dengan susah payah, cukup kita buatkan lobang yang lebih besar dan dia segera keluar dari kepompong tersebut.

Namun dengan kita membantu hal itu, malah kita sedang membunuh kupu-kupu tersebut secara perlahan. Dengan cairan ditubuhnya tidak banyak berkurang, maka sayap yang indah terkena matahri tidak bisa mengembang. Kupu-kupu yang gagal tersebut tidak akan pernah merasakan bagaimana dia terbang dengan leluasa. Mencari sari dari berbagai macam bunga. Namun dia akan tidak pergi jauh-jauh dari tempatnya, sambil menunggu nasib berikutnya tanpa memiliki pilihan lain. Mungkin akan menjadi mangsa binatang lain atau mati dengan sendirinya.

Ya, itu kupu-kupu yang gagal. Gagal karena pertolongan yang tidak semestinya. Hanya karena faktor iba atau kasihan, akhirnya kupu-kupu tersebut mengalami hal yang perlu lebih dikasihani. Apakah ini mungkin juga sering terjadi pada kita manusia? Kadang kita terlalu mudah kasihan dan iba dengan proses kehidupan yang penuh ujian, sehingga kita melakukan hal yang kita anggap pertolongan, namun sebenarnya penjerumusan. Atau bahkan kita sendiri "yang merasa tidak mampu keluar dari cangkang kepompong kita" sehingga dengan mudahnya meminta belas kasihan dari orang lain, untuk mengentaskan. Lalu kita menjadi lemah dan cengeng yang akibatnya hanya terbatas pada pilihan "mati".

Mati bukan berpisahnya ruh dan badan, namun mati dalam motivasi, mati dalam kreativitas, mati dalam kinerja, mati dalam harapan, mati dalam cita, mati dalam keberanian dan masih banyak lagi mati-mati yang terjadi. Jadilah kita "kupu-kupu" yang tidak tajut sendiri keluar dari cangkang kepompong kita, karena apapun yang dibebankan kepada kita sudah dalam takaran yang kuasa.